Artikel ini aku buat sehubungan dengan salah satu pencarian ke artikel oral dan sex dalam Islam. Si pencari menggunakan kata kunci “berhubungan badan dengan perempuan haid”, yg ternyata mengarah ke artikel tersebut. Ketika aku lihat lebih detail, ternyata artikel tentang sex dan haid belum ada, sehingga aku putuskan untuk menulis dan memuat artikel ini.
Al Qur’an, secara implisit, telah menyatakan bahwa HAID ADALAH KOTORAN dan MELARANG SEORANG SUAMI UNTUK BERGAUL (BERHUBUNGAN BADAN) DENGAN ISTRINYA KETIKA ISTRINYA SEDANG HAID. “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran“. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Al Baqarah(2):222)
Dari ayat di atas, yg dimaksud dengan dilarang berhubungan badan adalah dalam konteks suami memasukkan (maaf) alat kelaminnya ke dalam (maaf) alat kelamin istrinya. Sementara untuk hubungan sex yg TIDAK MELIBATKAN ALAT KELAMIN PEREMPUAN, Rasululloh SAW MENGIJINKANNYA.
Dan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Lakukanlah segala-galanya kecuali jima”
Seorang penanya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Apa yang halal bagiku dari istriku ketika dia sedang haid?” Rasulullah menjawab, “Ikatkan kencang-kencang ikat pinggangnya, kemudian terserah kepadamulah yang bagian atasnya.”
Dari Masruq, dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah, “Apa yang halal bagiku dari istriku ketika sedang haid?” Aisyah menjawab, “Semuanya halal kecuali kemaluan.”
Jika merujuk dari ulama2 4 mazhab, maka Imam Syafi’i dan Imam Hanafi berpendapat, bahwa haram hukumnya untuk istimta’ (bersenang-senang, dalam konteks ini adalah berhubungan badan) dengan istri ketika dia sedang haid, pada bagian tubuh antara pusat dan lutut tanpa ada sesuatu yang menghalanginya, dan dibolehkan jika ada penghalang, seperti pakaian dan sebagainya. Tetapi jima’ tidak dibolehkan sama sekali sekalipun memakai penghalang.
Dengan kata lain, kedua Imam di atas membolehkan si suami-istri untuk berhubungan sex dan mencapai kepuasan TANPA MELAKUKAN PENETRASI. Penghalang digunakan untuk mencegah/menghindari si suami ‘kebablasan’.
Sedangkan Imam Maliki berpendapat, tidak boleh melakukan jima’ dengan istri ketika sedang haid, tetapi sekedar istimta’ pada bagian tubuh yang ada antara pusat dan lutut, ada dua pendapat: Pertama dilarang sekalipun ada sesuatu penghalang. Itulah pendapat yang masyhur. Kedua, boleh sekalipun tidak ada penghalang.
Pendapat Imam Maliki nyaris serupa dengan dengan kedua Imam sebelumnya.
Terakhir, Imam Hambali mempunyai pendapat bahwa boleh hukumnya untuk istimta’ dengan istri ketika dia sedang haid dan nifas pada bagian tubuh yang ada antara pusat dan lutut tanpa sesuatu penghalang. Yang diharamkan hanyalah jima’.
Di beberapa referensi kedokteran yg aku dapatkan, ternyata saat mens (haid), saluran antara vagina dan rahim (mulut rahim ) sedang terbuka sehingga akan mudah masuknya penyakit ke dalam rahim di samping itu juga ada resiko yang cukup fatal di mana kalau sampai ada udara yang masuk kedalam rahim saat melakukan hubungan badan. Kalau misalnya ada udara terdorong masuk ke dalam mulut rahim lalu masuk ke dalam pembuluh darah, ini akan membawa kuman ke jantung sehingga menimbulkan gangguan jantung. Kalau terbawa ke otak, dengan cepat akan terjadi suatu reaksi alergi atau akan menyebabkan gangguan otak (akan mengalami kejang-kejang dan diikuti dengan kematian mendadak).
Belakangan kalangan kedokteran berhasil menemukan fakta bahwa saat tidak suci kondisi kelamin wanita sangat rentan jika terjadi gesekan atau kemasukan benda asing. Saat itu sel-sel di dalam kelamin wanita keadaannya tidak sama dengan saat suci.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa wanita yang biasa tetap melakukan hubungan sex saat haid atau nifas mempunyai resiko kanker yang lebih tinggi dari yang tidak.
Dengan demikian, ternyata terbukti lagi bahwa Al Qur’an merupakan wahyu dari ALLOH SWT, BUKAN KARANGAN MUHAMMAD SAW. Mengapa? Karena di jaman Rasululloh SAW dulu tidak ada penjelasan medis (secara akal), namun Al Qur’an sudah jauh mendahului menetapkan larangan ini (berhubungan badan dg istri yg sedang haid).
Mudah2an artikel ini berguna dan menambah keyakinan kita.
Al Qur’an, secara implisit, telah menyatakan bahwa HAID ADALAH KOTORAN dan MELARANG SEORANG SUAMI UNTUK BERGAUL (BERHUBUNGAN BADAN) DENGAN ISTRINYA KETIKA ISTRINYA SEDANG HAID. “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran“. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Al Baqarah(2):222)
Dari ayat di atas, yg dimaksud dengan dilarang berhubungan badan adalah dalam konteks suami memasukkan (maaf) alat kelaminnya ke dalam (maaf) alat kelamin istrinya. Sementara untuk hubungan sex yg TIDAK MELIBATKAN ALAT KELAMIN PEREMPUAN, Rasululloh SAW MENGIJINKANNYA.
Dan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Lakukanlah segala-galanya kecuali jima”
Seorang penanya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Apa yang halal bagiku dari istriku ketika dia sedang haid?” Rasulullah menjawab, “Ikatkan kencang-kencang ikat pinggangnya, kemudian terserah kepadamulah yang bagian atasnya.”
Dari Masruq, dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah, “Apa yang halal bagiku dari istriku ketika sedang haid?” Aisyah menjawab, “Semuanya halal kecuali kemaluan.”
Jika merujuk dari ulama2 4 mazhab, maka Imam Syafi’i dan Imam Hanafi berpendapat, bahwa haram hukumnya untuk istimta’ (bersenang-senang, dalam konteks ini adalah berhubungan badan) dengan istri ketika dia sedang haid, pada bagian tubuh antara pusat dan lutut tanpa ada sesuatu yang menghalanginya, dan dibolehkan jika ada penghalang, seperti pakaian dan sebagainya. Tetapi jima’ tidak dibolehkan sama sekali sekalipun memakai penghalang.
Dengan kata lain, kedua Imam di atas membolehkan si suami-istri untuk berhubungan sex dan mencapai kepuasan TANPA MELAKUKAN PENETRASI. Penghalang digunakan untuk mencegah/menghindari si suami ‘kebablasan’.
Sedangkan Imam Maliki berpendapat, tidak boleh melakukan jima’ dengan istri ketika sedang haid, tetapi sekedar istimta’ pada bagian tubuh yang ada antara pusat dan lutut, ada dua pendapat: Pertama dilarang sekalipun ada sesuatu penghalang. Itulah pendapat yang masyhur. Kedua, boleh sekalipun tidak ada penghalang.
Pendapat Imam Maliki nyaris serupa dengan dengan kedua Imam sebelumnya.
Terakhir, Imam Hambali mempunyai pendapat bahwa boleh hukumnya untuk istimta’ dengan istri ketika dia sedang haid dan nifas pada bagian tubuh yang ada antara pusat dan lutut tanpa sesuatu penghalang. Yang diharamkan hanyalah jima’.
Di beberapa referensi kedokteran yg aku dapatkan, ternyata saat mens (haid), saluran antara vagina dan rahim (mulut rahim ) sedang terbuka sehingga akan mudah masuknya penyakit ke dalam rahim di samping itu juga ada resiko yang cukup fatal di mana kalau sampai ada udara yang masuk kedalam rahim saat melakukan hubungan badan. Kalau misalnya ada udara terdorong masuk ke dalam mulut rahim lalu masuk ke dalam pembuluh darah, ini akan membawa kuman ke jantung sehingga menimbulkan gangguan jantung. Kalau terbawa ke otak, dengan cepat akan terjadi suatu reaksi alergi atau akan menyebabkan gangguan otak (akan mengalami kejang-kejang dan diikuti dengan kematian mendadak).
Belakangan kalangan kedokteran berhasil menemukan fakta bahwa saat tidak suci kondisi kelamin wanita sangat rentan jika terjadi gesekan atau kemasukan benda asing. Saat itu sel-sel di dalam kelamin wanita keadaannya tidak sama dengan saat suci.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa wanita yang biasa tetap melakukan hubungan sex saat haid atau nifas mempunyai resiko kanker yang lebih tinggi dari yang tidak.
Dengan demikian, ternyata terbukti lagi bahwa Al Qur’an merupakan wahyu dari ALLOH SWT, BUKAN KARANGAN MUHAMMAD SAW. Mengapa? Karena di jaman Rasululloh SAW dulu tidak ada penjelasan medis (secara akal), namun Al Qur’an sudah jauh mendahului menetapkan larangan ini (berhubungan badan dg istri yg sedang haid).
Mudah2an artikel ini berguna dan menambah keyakinan kita.
0 comments:
Post a Comment