Masyarakat mungkin terpecah menjadi dua kubu dalam menyikapi kematian mantan pemimpin Libya, Muammar Khadafi. Ada yang senang dan ada yang tak senang, sebagaimana memang kontroversialnya sosok Khadafi itu sendiri semasa hidupnya. Berita kematian Khadafi sampai ke kita disertai dengan gambar-gambar foto maupun video-video yang menunjukkan bagaimana detik-detik akhir kehidupan Khadafi, beserta perlakuan yang diterimanya ketika ditangkap hidup-hidup, sampai muncul foto-fotomayatnya disertai orang-orang yang berpose di depan mayat Khadafi yang tergeletak begitu saja bersimbah darah tanpa baju di gudang ruang pendingin. (Baca berita lengkap dan lihat foto serta videonya dengan mengklik DISINI). Dalam hal ini saya ingin mencoba menulis sebuah renungan terhadap kejatuhan dan kematian Khadafi beserta kejadian-kejadian yang berlangsung bersamaan dengannya.
Khadafi jatuh, terguling, dan mati di tangan rakyatnya sendiri yang memberontak terhadapnya dengan dukungan tentara barat (NATO). Suatu kejatuhan yang penuh darah, dengan konflik dan perang yang berlangsung berbulan-bulan yang telah memakan banyak korban jiwa. Menarik untuk membandingkannya dengan kejadian ketika Khadafi naik menjadi penguasa 42 tahun yang lalu ketika terjadi sebuah kudeta militer terhadap raja terdahulu, dimana dalam kejadian tersebut tak ada darah yang tertumpah. Menarik juga untuk membandingkan Libya yang tak ada apa-apanya di mata dunia sebelum Khadafi berkuasa, kemudian menjadi terkenal, dan relatif makmur dibanding negara tetangga dengan usaha nasionalisasi perusahaan-perusahaan minyak, membangun pabrik, dan sungai buatan raksasanya (baca sejarah singkat Khadafi dengan mengklik DISINI). Belakangan, mungkin karena terlalu lama berkuasa, dan disertai gaya hidup keluarganya yang mewah, entah benar atau tidak sebagaimana diberitakan media, banyak warga Libya yang mulai tak puas terhadapnya. Dan terjadilah momentum yang tepat bagi masyarakat yang tak puas dengan Khadafi, dengan tergulingnya penguasa Tunisia dan Mesir karena tekanan rakyatnya sendiri, yang juga telah puluhan tahun memerintah di negaranya masing-masing. Mereka pun mulai berdemonstrasi, terutama penduduk kota-kota tertentu seperti Benghazi, meminta Khadafi juga turun dari kekuasaannya. Kemudian entah mengapa terjadi pertumpahan darah dalam demostrasi itu, dimana di satu pihak Khadafi dituduh membantai rakyatnya sendiri, sementara di sisi lain Khadafi berkata ia hanya menghabisi para tentara bayaran dan “tikus-tikus” barat yang berkhianat pada negaranya. Khadafi tak bergeming terhadap ancaman dunia internasional, sehingga akhirnya jatuhnya sanksi terhadap Libya disertai diterjunkannya pasukan gabungan dari NATO untuk melindungi para demonstran sekaligus menghancurkan kekuatan Khadafi.
Ada berbagai perasaan berkecamuk di pikiran penulis. Di satu sisi, penulis tidaklah terlalu pro dengan Khadafi apalagi jika memang benar ia membunuh banyak warganya yang bersalah (kemudian kemungkinan keterlibatannya dalam aksi peledakan pesawat penumpang Amerika di utara Skotlandia). Tapi penulis juga tak senang dan was-was dengan apa yang dialami Libya saat ini, terutama melihat bagaimana Khadafi jatuh dan terbunuh.
Kembali menyangkut perlakuan Khadafi terhadap para demonstran. Saya lebih memilih kritis (tak mau menelan mentah-mentah dan percaya 100%) terhadap pemberitaan media internasional dimana dikatakan ia bersikap represif karena saya tak tahu persis dan tak melihat langsung situasi disana saat itu. Menarik juga untuk membandingkannya dengan Indonesia dan bagaimana perlakuan pemerintah Indonesia terhadap sebagian warga Aceh di waktu dulu yang tak puas terhadap pemerintah pusat, ataupun sebagian warga Papua dengan gerakan kemerdekaannya. Bagaimana jika yang disebut dengan demonstran itu sebenarnya sama dengan yang kita sebut sebagai pemberontak di Indonesia, cuma pemberitaannya saja yang berbeda ? Entahlah, wallahu ‘alam. Dan menarik juga membandingkannya dengan negara China (RRC) dalam perlakuannya menghadapi demonstran di kawasan China barat, juga dengan cara represif, tapi tak ada bantuan serangan dari barat (NATO) dimana mereka hanya berani mengeluarkan ucapan kritik saja. Dan wilayah-wilayah lainnya di dunia, baik yang terjadi di Rusia, dll.
Menarik juga untuk membahas sistem pemerintahan di dunia. Apakah memang demokrasi ala barat itu adalah suatu kebenaran mutlak sehingga harus dipaksakan juga ke negara lain ? Apakah tak boleh ada sistem yang berbeda-beda di dunia, dimana ada yang memilih sistem kerajaan dengan penguasa yang dipilih turun temurun, atau bukan kerajaan tapi setengah kerajaan setengah republik sebagaimana ada negara-negara yang pemimpinnya sampai bisa berkuasa puluhan tahun lamanya sebagaimana di Libya? Jika dibuat perumpamaannya dalam kehidupan sehari-hari lainnya, apakah semua orang bisa diwajibkan memakai baju yang sama, berbahasa sama, memakan makanan yang sama ? Tentu tidak kan, karena sesuai dengan selera masing-masing. Malahan kalau sama semua menjadi kurang indah, karena keberagaman itu membuat sesuatu menjadi tambah indah.
Menarik juga untuk melihat ke belakang, baik yang masih tampak oleh mata kita, maupun sejarah yang sudah berlangsung ratusan tahun lamanya. Segala sesuatu yang sifatnya kekacauan itu sudah terbukti beberapa kali jauh lebih buruk dari suatu kestabilan, dan efeknya terasa sampai waktu-waktu tertentu. Lihat apa yang terjadi di Irak, Afganistan. Dahulu kedua negara itu situasinya stabil. Kemudian lihatlah akibat perang yang dipaksakan oleh barat terhadap kedua negara tersebut pada saat ini. Kondisi kedua negara tersebut tak kunjung membaik, tapi semakin berantakan dari dahulunya. Entah butuh berapa lama lagi situasi kedua negara tersebut bisa stabil dan tak harus terjadi nyawa demi nyawa hilang tiap harinya. Juga lihat ke belakang, revolusi-revolusi berdarah selalu mengakibatkan situasi yang lebih buruk. Bagaimana sebagian negara-negara Afrika sempat sibuk dengan perang saudara, disertai dengan jatuhnya pemimpin yang lama oleh yang baru dengan kekerasan dan pertumpahan darah. Dan juga di negara-negara lain yang pernah mengalami kudeta berdarah. Jauh sedikit ke belakang, lihat akibat yang ditimbulkan revolusi Prancis, dimana hari-hari sesudah terjadi revolusi berdarah itu malah makin kacau, semakin banyak kepala-kepala yang lepas dari badannya, dan semakin kacau negaranya. Butuh beberapa tahun lamanya baru Prancis baru bisa tenang kembali, itu pun sempat setelah terlebih dahulu dipegang oleh pemerintahan diktator mirip kerajaan (di bawah Napoleon) yang sebenarnya malah bertentangan dengan nilai-nilai semangat revolusi yang mereka jalankan sebelumnya.
Dalam sejarah Islam pun, menggulingkan pemerintah yang berkuasa dengan kekerasan juga pernah berdampak pahit bagi umat. Bacalah sejarah terbunuhnya khalifah rahimahullah Usman bin Affan di tangan sebagian rakyatnya sendiri, umat Islam sendiri, semata-mata diakibatkan berbagai fitnah yang terjadi karena kedangkalan ilmu dan pemahaman mereka akan agamanya sendiri sehingga mereka dengan mudahnya mengkafirkan umat Islam yang satu atas yang lainnya, termasuk pada sahabat nabi yang mulia. Mereka pun tak segan-segan memakai surat palsu untuk mengadu domba dan menyesatkan para sahabat lainnya untuk menuduh dan menjelek-jelekkan sahabat yang lainnya. (Semoga laknat Allah atas mereka, wahai kaum khawarij). Dan lihatlah efeknya setelah pembunuhan tersebut berlangsung, dimana kondisi umat makin kacau setelah itu dan terpecah belah ke banyak kubu sampai pada era kekuasaan khalifah Ali bin Abu Tholib, terjadi perang-perang sesama mereka sampai-sampai terbunuh juga Khalifah Ali di tangan seorang muslim juga (kembali oleh kelompok khawarij), dan terbunuh juga banyak para sahabat yang mulia, dan cucu baginda Rasulullah dalam perang-perang sesama umat Islam menghadapi kelompok-kelompok yang hanya bermodalkan ‘dengkul, otot, dan emosi’ tapi jauh dari hidayah ilmu agama. (Referensi : baca buku Al Bidayah wan Nihayah era khalifaur rasyidin, karya ulama besar Imam Ibnu Katsir). Butuh waktu lama, baru akhirnya Allah menurunkan rahmatnya sehingga tenanglah kembali umat Islam di kala itu dan masing-masing pihak yang pernah dizalimi kemudian Allah angkat derajatnya dengan diberikan kekuasaan kepada mereka secara bergiliran yakni kepada bani Umayyah (pihak karib kerabat Usman bin Affan radiyallahu ‘anhu), kemudian setelahnya bani Abbassyiah (kaum karib kerabat Ali bin Abu Thalib radiyallah ‘anhu).
Demi Allah, tatkala penulis melihat video detik-detik akhir Muammar Khadafi di tangan para pemberontak Libya itu, termasuk penghinaannya (sikap tak menghormatinya terhadap umat muslim (termasuk Khadafi) yang sudah menjadi mayat), penulis menjadi teringat dengan sikap-sikap kelompok khawarij yang pernah membunuh sahabat rasulullah, sekaligus khalifah ummah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, sebagaimana yang digambarkan dalam buku Al Bidayah wan Nihayah karya imam Ibnu Katsir. Bukan berarti penulis menyamakan Khadafi dengan sahabat rasul (demi Allah bukanlah begitu, bahkan dalam hal ini penulis sendiri juga tak pro Khadafi), tapi penulis hanya lebih fokus memperhatikan sikap-sikap para pemuda pemberontak Libya saja. Mereka mengucapkan kalimat-kalimat Allah yang Mulia, dengan takbir-takbirnya, sementara tangan, mulut, dan kakinya jauh dari sikap kemuliaan pada saat memperlakukan seorang manusia tak berdaya yang mereka tangkap. Persis sama sikapnya sebagaimana para pembunuh Usman bin Affan radiyallahu ‘anhu mengepung Usman yang sudah tua, tak berdaya, dan pasrah di ruangan rumahnya. (dimana ia sudah memprediksikan kematian syahidnya lewat sabda Rasul dan sudah dinasehatkan Rasulullah untuk bersabar ketika hari itu datang). Tahu apa yang diucapkan beberapa orang pengecut yang mengepung Usman bin Affan seorang diri itu ? Mereka juga mengucapkan kata-kata Allah dan takbir seolah-olah yang ada di hadapan mereka adalah iblis, dan seolah-olah mereka yakin betul Allah meridhoi usaha dan jalan mereka. Demi Allah, tidak ! Dan terbukti kelompok mereka dihinakan dan dihancurkan oleh Allah di kemudian harinya (dan sampai akhir zaman bagi siapa saja yang mengikuti paham kelompok khawarij ini, insya Allah).
Penulis tak mau memperpanjang lagi tulisan renungan terhadap kejatuhan dan kematian Khadafi ini (untuk lebih tepatnya, judulnya seharusnya adalah renungan terhadap sikap anak-anak muda pemberontak Libya khususnya, dan seluruh umat Islam lainnya yang sepaham dengan mereka umumnya). Di akhir tulisan ini penulis mengajak pembaca merenungi ayat Al Qur’an, beberapa hadis Rasulullah, dan nasehat ulama-ulama besar di bawah ini, sebagai nasehat untuk kita semua umat Islam.
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan Ulil Amri diantara kalian.” (An-Nisa`: 59)
Al-Imam An-Nawawi berkata: “Yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan untuk ditaati dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat. Inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan sekarang dari kalangan ahli tafsir dan fiqih serta yang lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, juz 12, hal. 222)
1. Shahabat `Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu berkata:
“Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang ketaatan (terhadap penguasa) yang bertakwa. Yang kami tanyakan adalah ketaatan terhadap penguasa yang berbuat demikian dan demikian (ia sebutkan kejelekan-kejelekannya).” Maka Rasulullah bersabda: “Bertakwalah kalian kepada Allah, dengarlah dan taatilah (penguasa tersebut).” (HR. Ibnu Abi `Ashim dalam Kitab As-Sunnah, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah Fitakhrijis Sunnah, 2/494, no. 1064)
2. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Akan ada sepeninggalku nanti para imam/penguasa yang mereka itu tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku. Dan akan ada diantara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan namun berbadan manusia.” Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu dirampas olehnya, maka dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah (dia).” (HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman, 3/1476, no. 1847).
3. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seburuk-buruk penguasa kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian mencaci mereka dan mereka pun mencaci kalian.” Lalu dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang (memberontak)?” Beliau bersabda: “Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Dan jika kalian melihat mereka mengerjakan perbuatan yang tidak kalian sukai, maka bencilah perbuatannya dan jangan mencabut/meninggalkan ketaatan (darinya).” (HR. Muslim, dari shahabat `Auf bin Malik, 3/1481, no. 1855)
Para ulama kita pun demikian adanya. Mereka (dengan latar belakang daerah, pengalaman dan generasi yang berbeda-beda) telah menyampaikan arahan dan bimbingannya yang amat berharga seputar permasalahan ini, sebagaimana berikut:
Shahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata: “Urusan kaum muslimin tidaklah stabil tanpa adanya penguasa, yang baik atau yang jahat sekalipun.” Orang-orang berkata: “Wahai Amirul Mukminin, kalau penguasa yang baik kami bisa menerimanya, lalu bagaimana dengan yang jahat?” Ali bin Abi Thalib berkata: “Sesungguhnya (walaupun) penguasa itu jahat namun Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap memerankannya sebagai pengawas keamanan di jalan-jalan dan pemimpin dalam jihad…” (Syu’abul Iman, karya Al-Imam Al-Baihaqi juz 13, hal.187, dinukil dari kitab Mu’amalatul Hukkam, karya Asy-Syaikh Abdus Salam bin Barjas hal. 57).
Al-Imam Ibnu Abil `Iz Al-Hanafi berkata: “Adapun kewajiban menaati mereka (penguasa) tetaplah berlaku walaupun mereka berbuat jahat. Karena tidak menaati mereka dalam hal yang ma’ruf akan mengakibatkan kerusakan yang jauh lebih besar dari apa yang ada selama ini. Dan di dalam kesabaran terhadap kejahatan mereka itu terdapat ampunan dari dosa-dosa serta (mendatangkan) pahala yang berlipat.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 368).
Al-Imam Al-Barbahari berkata: “Ketahuilah bahwa kejahatan penguasa tidaklah menghapuskan kewajiban (menaati mereka, -pen.) yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan melalui lisan Nabi-Nya. Kejahatannya akan kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan kebaikan-kebaikan yang engkau kerjakan bersamanya akan mendapat pahala yang sempurna insya Allah. Yakni kerjakanlah shalat berjamaah, shalat Jum’at dan jihad bersama mereka, dan juga berpartisipasilah bersamanya dalam semua jenis ketaatan (yang dipimpinnya).” (Thabaqat Al-Hanabilah karya Ibnu Abi Ya’la, 2/36, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah, hal. 14).
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini (riwayat Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah di atas,-pen.) terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para penguasa dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, juz 13, hal. 120).
Semoga bermanfaat.
0 comments:
Post a Comment